PROKALTIM – Kebijakan efisiensi anggaran pendidikan menimbulkan kekhawatiran adanya kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Potensi kenaikan ini dipicu oleh efisiensi dana bantuan operasional perguruan tinggi yang mencapai 50 persen.
Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Habib Syarief, menegaskan bahwa efisiensi anggaran pendidikan seharusnya tidak memicu kenaikan UKT.
Menurutnya, jika hal ini terjadi, dikhawatirkan akan banyak mahasiswa yang kesulitan membayar biaya kuliah, bahkan berpotensi putus studi.
“Kenaikan UKT juga dapat mengurangi aksesibilitas dan kesetaraan dalam pendidikan,” ujar Habib Syarief, Rabu (19/2/2025).
Habib mengatakan, kenaikan UKT berpotensi menghambat mahasiswa dalam menyelesaikan studi tepat waktu, yang pada akhirnya dapat memengaruhi kesempatan mereka untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus.
Padahal, pendidikan tinggi seharusnya menjadi pintu gerbang untuk membuka peluang masa depan yang lebih baik.
“Bagaimana kita dapat mewujudkan Indonesia Emas jika biaya UKT semakin mahal dari waktu ke waktu, sehingga pendidikan menjadi sesuatu yang sulit diakses oleh masyarakat?” ujarnya.
UKT merupakan biaya yang dibayarkan mahasiswa setiap semester di perguruan tinggi. Besarannya disesuaikan dengan kemampuan finansial orang tua mahasiswa dan pertimbangan lain yang ditetapkan oleh perguruan tinggi. Besaran UKT juga bervariasi tergantung pada jalur masuk mahasiswa.
“Mahasiswa dan calon mahasiswa tentu akan merasa khawatir jika terjadi kenaikan UKT. Biaya kuliah sudah cukup besar, jangan sampai ini menjadi penghalang bagi mereka untuk meraih masa depan yang lebih baik,” tegas Habib.
Legislator dari Dapil Jabar I itu meminta agar perguruan tinggi tidak menaikkan UKT, mengingat UKT merupakan bagian dari layanan publik di sektor pendidikan yang seharusnya tidak terdampak oleh kebijakan efisiensi anggaran, sesuai dengan Instruksi Presiden.
Dia menegaskan bahwa efisiensi di sektor pendidikan seharusnya difokuskan pada hal-hal non-pokok, seperti kegiatan seremonial, yang tidak memengaruhi kualitas layanan publik.
“Pemerintah dan perguruan tinggi harus memastikan bahwa kebijakan efisiensi anggaran tidak membebani mahasiswa dan keluarga mereka. Pendidikan harus tetap terjangkau dan inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat demi mewujudkan cita-cita Indonesia Emas,” pungkasnya. (*)