PROKALTIM – Politikus senior Partai Golkar asal Kalimantan Tengah, Mukhtarudin resmi dilantik sebagai Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), menggantikan Abdul Kadir Karding.
Mukhtarudin mengaku masih banyak pekerjaan rumah (PR) dalam bidang perlindungan migran di tanah air.
Pernyataan ini bukan hanya refleksi atas warisan masalah yang ditinggalkan pendahulunya, tapi juga sinyal komitmen untuk menangani isu yang telah lama menjadi momok bagi jutaan PMI yang tersebar di berbagai negara.
Mukhtarudin menekankan komitmennya untuk melanjutkan program perlindungan PMI sesuai arahan Presiden Prabowo, sambil mengakui bahwa tantangan masih menumpuk.
“Saya siap melanjutkan program perlindungan pekerja migran berdasarkan arahan Presiden,” ujarnya.
Pekerja migran Indonesia telah menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Data dari Bank Indonesia dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan bahwa remitansi PMI mencapai rata-rata USD 9,8 miliar per tahun sebelum pandemi Covid-19, dengan kontribusi signifikan dari negara-negara seperti Korea Selatan, Malaysia, dan Arab Saudi.
Pada 2022 saja, remitansi dari Korea Selatan mencapai USD 22 juta di kuartal II. Namun, di balik angka-angka menggiurkan ini, PMI sering kali menghadapi neraka di negeri orang.
Masalah utama meliputi eksploitasi tenaga kerja, perdagangan manusia (TPPO), kekerasan fisik dan psikis, serta ketidaksesuaian pekerjaan dengan kontrak. Berdasarkan data Crisis Center BP2MI tahun 2022, pengaduan PMI sepanjang 2019-2021 mencakup gaji tidak dibayar, kegagalan berangkat, perdagangan orang, kekerasan dari majikan, depresi, dan penipuan peluang kerja.
Di Malaysia, negara tujuan utama PMI, sekitar 2,7 juta pekerja Indonesia hadir, tapi hanya 1,6 juta melalui jalur reguler, sisanya rentan terhadap penahanan ilegal, pelecehan, dan deportasi paksa.
Kasus seperti PMI yang ditahan tanpa alasan selama pandemi, diintimidasi, atau bahkan disiksa, menjadi cerita berulang. Komnas Perempuan mencatat puluhan pengaduan PMI yang mengalami kekerasan fisik, seksual, dan ekonomi, termasuk eksploitasi narkoba dan ancaman pidana mati.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia seharusnya menjadi payung hukum utama, yang menjamin hak PMI mulai dari pra keberangkatan hingga pasca-kembali.
Namun, implementasinya masih lemah, pemalsuan dokumen, kurangnya pelatihan,
dan minimnya pengawasan oleh BP2MI serta KBRI sering menjadi celah. Pemerintah telah mencoba memperkuat melalui skema Government to Government (G to G), seperti dengan Korea Selatan, yang memotong sindikat ilegal dan memberikan pembebasan biaya penempatan.
Selain itu, alokasi anggaran Rp390 miliar pada 2022 untuk KUR PMI dengan plafon hingga Rp100 juta bertujuan mencegah PMI berhutang pada rentenir.
Di era Mukhtarudin, fokus harus pada pemberdayaan desa asal PMI melalui program Desa Migran Produktif (Desmigratif).
Program ini melibatkan pelatihan kewirausahaan, literasi keuangan, dan pengelolaan remitansi untuk keluarga PMI yang ditinggalkan masalah seperti perceraian, kekerasan anak, dan perkawinan dini sering muncul akibat absennya orang tua.
Contoh sukses pelatihan di Balai Poliran Polda Banten yang memungkinkan PMI bekerja di luar negeri dengan keterampilan lebih baik. Selain itu, MoU bilateral seperti dengan Malaysia tahun 2022 perlu diimplementasikan ketat, meski sering dilanggar, seperti kasus penghentian pengiriman PMI pada 2022 karena pelanggaran one channel system.
Analis migrasi seperti Alex Ong dari Migrant Care menyoroti bahwa perlindungan masih jauh dari ideal: “Itu kan satu pelanggaran HAM,” katanya terkait penahanan ilegal. Sementara itu, IOM
Indonesia merekomendasikan upskilling PMI untuk posisi lebih baik, bahkan menjadikan mereka duta pariwisata Indonesia.
Mukhtarudin, dengan rekam jejaknya di DPR dan birokrasi, diharapkan bisa mendorong koordinasi lintas kementerian dari Kemenko PMK hingga Kemlu untuk mendeteksi dini kejahatan terhadap PMI.