PROKALTIM,JAKARTA – Kasus pengeroyokan dokter koas di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra Palembang, Muhammad Luthfi, yang mengakibatkan korban luka-luka di bagian wajah dan kepala oleh supir salah seorang teman koas yang tidak setuju dengan penjadwalan piket pada Malam Tahur Baru, dengan cepat diselidiki polisi setelah viral di media sosial.
Juga kasus aksi kekerasan seorang anak pemilik toko roti di Jakarta Timur terhadap karyawannya, yang baru diselidiki dengan intensif dan tersangka pelaku ditangkap aparat setelah viral. Padahal selama berbulan-bulan korban telah bolak-balik mengadukan kasusnya, bahkan sampai terpaksa menjual motornya untuk membayar pengacara dan ongkos perkara.
DPR Kritisi Polisi
Kasus-kasus yang viral dan menarik perhatian luas publik seakan ikut “menekan” aparat untuk mengambil langkah hukum dengan lebih cepat dibanding yang tidak viral. Hal ini dibahas dalam rapat kerja antara Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Kepala Kepolsian Daerah (Polda) Kalimantan Tengah Insoektur Jenderal Djoko Poerwanto dan Kepala Kepolisian Resor (Polres) Jakarta Timur Nicolas Ary Lilipaly di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa lalu (17/12).
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Golongan Karya Rikwanto mempertanyakan langkah polisi pada kasus penganiayaan karyawan toko roti di Jakarta Timur.
“Yang menjadi pertanyaan masyarakat itu kenapa kasus yang “sederhana” seperti itu, lukanya ada, saksinya ada, barang buktinya ada, kemudian TKP (tempat kejadian perara) juga ada, termasuk videonya juga ada, kok sampe dua bulan. Penyelidikannya hampir satu bulan, penangkapannya hampir satu bulan juga. Itupun setelah viral,” katanya.
Pertanyaan yang sama juga diajukan anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasional Demokrat Rudianto Lallo kepada Kepala Pores Jakarta Timur Nicolas Ary Lilipaly, yang menjawab bahwa pihaknya sempat memanggil tersangka untuk diperiksa, “Tapi karena merasa tidak aman, orang tua membawa pelaku ke Sukabumi, Jawa Barat, untuk mengobati pelaku dengan cara pengobatan alternatif,” ujarnya.
Rudianto mengecam jawaban itu.
“Ini catatan saya Pak kapolres. Karena kalau nanti viral baru kemudian ditangani, kita sampaikan kepada masyarakat Indonesia. Kalau masyarakat Indonesia pencari keadilan mau ditangani, ya viralkan dulu. Kan tidak bagus kalau penegakan hukum seperti itu,” ujarnya.
Kasus George “Kebal Hukum” vs Dwi
Aksi kekerasan anak pemilik toko roti, George Sugama Halim, terhadap karyawannya, Dwi Ayu, terjadi pada 17 Oktober lalu. Kekerasan ini berawal ketika Dwi Ayu menolak diminta mengantar makanan ke kamar pribadi George karena menilai hal itu bukan bagian dari tugasnya sebagai karyawan toko roti.
Kepada wartawan, Dwi mengatakan George kerap menghinanya sebagai “orang miskin” dan membandingkan dirinya sebagai “orang yang kebal hukum.” Dwi sempat minta berhenti kerja, tetapi dibujuk oleh adik pelaku untuk bertahan, dengan syarat tidak akan diminta mengantar makanan ke kamar pribadi George. Tetapi George tetap meminta Dwi melakukan hal itu dan ketika ia menolak, aksi kekerasan pun terjadi. George melempar sejumlah barang ke arah Dwi hingga kepalanya luka-luka.
Dwi kemudian melaporkan aksi kekerasan itu ke Polsek Rawamangun, yang mengalihkannya ke Polsek Cakung sebagai tempat kejadian. Tetapi kemudian dialihkan ke Polres Jakarta Timur. Dwi baru divisum sehari setelah bolak-balik ke beberapa kantor polisi. George sendiri baru ditangkap polisi di Sukabumi awal pekan ini setelah rekaman aksi kekerasan itu viral di media massa.
Pengamat: “No Viral, No Justice” Jadi Bentuk Pengawasan Publik
Pengamat Kepolisian di Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto mengatakan banyaknya kasus kejahatan yang terjadi memang kerap menjadikan polisi harus membuat skala prioritas. Tetapi ada kecenderungan polisi tidak menindaklanjuti laporan yang tidak mendapat “dukungan” materi, kekuasaan – atau seperti saat ini – kekuatan media sosial.
“Dengan posisi korban yang lemah, sementara pelaku memiliki posisi yang dominan, patut diduga memang polisi baru bekerja karena lebih dulu ada tekanan viral,”ujarnya.
Menurut Bambang, “no viral no justice menjadi salah satu bentuk pengawasan masyarakat yang efektif untuk mendorong kepolisian bekerja sesuai harapan publik. Pasalnya, saluran kelembagaan, baik internal maupun eksternal dinilai masyarakat tidak efektif,” dan senantiasa berkelindan dengan birokrasi yang rumit, demikian juga dengan aplikasi pengaduan yang dibuat kepolisian sendiri,” tambahnya. (fw/em/voa indonesia)