PROKALTIM – Anggota Komisi II DPR RI Mohammad Toha mengaku prihatin atas putusan akhir Mahkamah Konstitusi terkait pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Hal ini dikarenakan ada 15 daerah yang wajib melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU), 9 daerah PSU di sejumlah TPS, dan 2 daerah pilkada ulang karena kemenangan Kotak Kosong.
“Saya apresiasi ketegasan MK, tapi saya sangat sedih karena negara harus menggelontorkan lagi dana sekitar Rp1 triliun untuk menebus kegagalan penyelenggaraan pemilu di 24 daerah tersebut,” kata Toha, Rabu (5/3/2025).
Berdasarkan RDPU pada Kamis (27/02/2024), KPU mengajukan anggaran sebesar Rp486 miliar dan Bawaslu Rp206 miliar untuk melaksanakan PSU di 24 daerah imbas dari putusan akhir MK pada Senin (24/02/2024).
Dana tersebut belum termasuk dua pilkada ulang akibat kemenangan kotak kosong di Kota Padangsidimpuan dan Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang ditaksir semua menjadi kurang lebih Rp1 triliun.
Politisi PKB ini mendukung putusan MK. Dia menilai putusan itu merupakan putusan yang berani dan tepat.
“Saya percaya dengan model persidangan yang terbuka untuk publik, putusan akhir MK terkait Pilkada 2024 tidak sembarangan, terlebih sorotan publik akhir-akhir ini sangat kuat,” jelasnya.
Toha mengakui, MK telah menjadi lembaga tinggi negara yang berwenang mengadili perkara-perkara tertentu, termasuk PHPilkada 2024 dengan mempraktekkan prinsip “audi et alteram partem”.
Dalam pergelaran sidang PHPilkada, mulai saat pendaftaran sampai sidang akhir putusan, semua pihak bebas mengadu (fair), persidangan dibuka dan terbuka untuk umum, live tv, dan dapat diakses berbagai kanal (transparan), serta terbukti putusannya tidak pandang bulu (equality before the law).
“Respons bijak atas putusan MK, seharusnya tidak dilihat kepada siapa sanksi itu dijatuhkan, tapi perkara aduan, bukti-bukti persidangan, dan kesaksian saksi atau saksi ahli,” terangnya.
Mohammad Toha juga mengingatkan, putusan MK itu final dan mengikat (final and binding).
Dia menghargai segelintir pendapat yang menyoal dasar putusan MK, misal pada perkara keabsahan persyaratan pencalonan, yang pasti putusan itu sudah dijatuhkan dan semua pihak harus menghargai.
“Putusan ini harus menjadi pelajaran terbaik untuk kinerja penyelenggara pemilu agar lebih profesional.
Mantan Wakil Bupati Sukoharjo dua periode ini menyayangkan putusan MK terkait PHPilkada, bukan hanya karena kesalahan penghitungan suara, pencurian suara, penghilangan suara, dan perubahan status suara sah menjadi tidak sah atau yang tidak sah menjadi sah, dll., melainkan ada yang justru terjadi karena kesalahan administrasi di awal tahapan, bahkan ada yang terjadi karena pelanggaran netralitas pejabat negara.
Menurut legislator asal Jawa Tengah ini, kesalahan administrasi kategori maladministrasi dan dapat dipidana. Pun dengan pelanggaran netralitas oleh pejabat negara, pejabat daerah, dan TNI/Polri dalam Pilkada juga dapat disanksi pidana. (*)