Oleh: Prakoso Yudho L.
Ketua KPU Kota Balikpapan, pemerhati sosial-politik dan penggerak literasi demokrasi.
Hari ini, Jumat, 27 Juni 2025 bertepatan dengan 1 Muharram 1447 H. Tahun Baru Islam. Semalam tidak tampak kegiatan dan acara acara dengan euphoria. Tidak ada pesta kembang api atau panggung hiburan besar-besaran. Suasana teduh, penuh makna, dan sarat renungan. Bagi umat Islam, 1 Muharram bukan sekadar pergantian kalender, tapi momentum spiritual yang kuat: peringatan hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah. Sebuah perjalanan monumental yang bukan hanya berpindah tempat, tapi juga perubahan arah, nilai, dan peradaban.
Dalam konteks Indonesia hari ini, apalagi menjelang Pilkada di berbagai daerah, semangat hijrah sepatutnya tidak hanya diperingati, tapi juga dihayati. Terutama oleh mereka yang mengemban atau berambisi untuk mengemban amanah kepemimpinan. Hijrah hari ini bukan lagi tentang langkah kaki menuju kota baru, melainkan langkah hati dan pikiran menuju moralitas yang lebih luhur dalam berpolitik dan memimpin.
Belajar dari Hijrah Nabi
Mari kita mundur sejenak ke lebih dari 1400 tahun lalu. Ketika Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya hijrah ke Madinah, mereka tidak hanya mencari perlindungan, tapi membawa misi peradaban: membangun masyarakat baru yang adil, terbuka, dan beradab. Di Madinah, Rasulullah SAW tidak hanya berperan sebagai nabi dan utusan Tuhan, tapi juga sebagai pemimpin politik, kepala negara, sekaligus pemersatu suku dan golongan yang sebelumnya saling bermusuhan.
Dari hijrah inilah lahir konstitusi pertama dalam sejarah Islam yaitu Piagam Madinah. Dimana ada komitmen menjamin kebebasan beragama, kesetaraan hak, dan keadilan sosial. Ini bukan dongeng belaka. Ini adalah realitas sejarah yang membuktikan bahwa moralitas dan spiritualitas tidak bisa dipisahkan dari kepemimpinan dan politik.
Sekarang mari kita tengok kehidupan kita saat ini. Apa yang kita lihat di panggung politik hari ini? Sayangnya, politik masih sering dipersepsikan sebagai ruang adu siasat an sich. Saling jegal, bahkan saling intrik licik yang jauh dari nilai-nilai moral. Bukan rahasia lagi bahwa politik di negeri ini kerap disandera oleh pragmatisme dan kepentingan jangka pendek. Ada yang rela mengorbankan idealisme demi kursi kekuasaan. Ada juga yang menjadikan politik sebagai kendaraan pribadi, bukan amanah public, dan celakanya hanya untuk kepentingan pribadi atau paling banter untuk kepentingan kelompok dan golongan masing masing. Ironis bukan?
Dalam suasana semacam ini, semangat hijrah menjadi sangat relevan. Hijrah dalam makna yang luas dan dalam. Yaknni Hijrah dalam artian berproses transformasi menyeluruh, baik secara spiritual, sosial, maupun kultural. Hijrah bukan hanya soal pindah tempat, tetapi tentang kemauan untuk berubah ke arah yang lebih baik, dengan tekad, istiqamah, dan kontribusi nyata bagi diri sendiri dan lingkungan, serta sosial.
Dalam konteks politik, hijrah disini bermakna proses perubahan dari politik transaksional menuju politik yang transformatif. Hijrah dari ambisi pribadi ke misi kolektif. Hijrah dari politik identitas ke politik gagasan. Dan tentu saja, hijrah dari politik kotor menuju politik bermartabat.
Moralitas: Kompas Kepemimpinan
Dalam Alquran, pemimpin itu digambarkan sebagai orang yang bisa dipercaya (al-amin), punya integritas, dan adil. Sifat-sifat itu bukan sekadar etika individu, tapi syarat mutlak dalam kepemimpinan publik. Seorang pemimpin yang bermoral tidak akan menjadikan kekuasaan sebagai ladang mencari keuntungan, tapi sebagai ladang pengabdian. Ia akan memandang rakyat bukan sebagai komditi meraup suara angka di TPS, melainkan sebagai manusia yang harus didengar, dilayani, dan diperjuangkan haknya.
Maka, mari kita renungkan. Sudahkah calon-calon pemimpin kita hari ini memiliki niat yang jernih dan mesujud dalam setiap kebijakannya? Kalaupun sudah, seberapa besar persentasenya? Sudahkah mereka siap untuk berhijrah dari pola pikir kekuasaan ke pola pikir pelayanan? Jangan-jangan, hanya soal bagaimana menang, bukan bagaimana membangun.
Sebagai pemilih, kita juga harus ikut berhijrah. Berhijrah dari apatisme ke partisipasi. Berhijrah dari memilih berdasarkan “siapa yang bagi sembako” ke “siapa yang punya gagasan dan rekam jejak”. Jangan sampai semangat hijrah hanya berhenti di mimbar-mimbar pengajian, tapi tidak menembus bilik suara.
Sebagai penyelenggara pemilu, saya berkomitmen memulai dari diri pribadi dan lingkungan di sekitar saya untuk tetap dan terus menjaga semangat hijrah. Dengan memaknai hijrah sebagai upaya menjaga integritas dan profesionalisme. Menjaga agar demokrasi tidak dicederai oleh kecurangan dan manipulasi. Memberikan ruang yang adil dan setara bagi semua peserta. Karena pemilu yang bersih adalah fondasi utama bagi lahirnya kepemimpinan yang bermoral.
Hijrah tidak bisa hanya dimaknai secara simbolik. Ia adalah gerakan perubahan. Dari keterpurukan menuju perbaikan. Dari gelap menuju terang. Dari kebohongan menuju kebenaran. Dalam politik, ini berarti komitmen untuk memperbaiki sistem, membangun kepercayaan publik, dan menempatkan etika sebagai fondasi utama pengambilan keputusan.
Bayangkan jika seluruh pemimpin di negeri ini benar-benar menghidupi semangat hijrah. Tidak lagi “menyembah” kekuasaan, tapi melayani kebaikan. Tidak lagi mempertajam polarisasi, tapi merajut persatuan. Maka politik bukan lagi sesuatu yang kotor, tapi menjadi jalan mulia untuk membangun masa depan bangsa. Dan hal itu akan menjadi investasi jangka Panjang, untuk kehidupan setelah kehidupan dunia ini.
Tahun Baru Islam bukan sekadar seremoni. Ini adalah undangan untuk merenung dan berubah. Hijrah bukan nostalgia sejarah, tapi ajakan untuk terus bergerak menuju kebaikan. Dalam konteks politik dan kepemimpinan, hijrah adalah ajakan untuk memaknai kekuasaan sebagai amanah, bukan kesempatan.
Kita membutuhkan lebih banyak pemimpin yang mau berhijrah: dari sekadar pencitraan ke keteladanan, dari retorika ke etika, dari dominasi ke kolaborasi. Mari kita sambut 1447 Hijriah dengan tekad untuk menghidupkan kembali politik yang bermoral, kepemimpinan yang jujur, dan demokrasi yang sehat.
Akhirnya, selamat merayakan tahun baru Islam 1447 H. Semoga semangat hijrah Rasulullah SAW menjadi suluh bagi perjalanan bangsa ini. Dimulai dari diri pribadi, semoga berdampak pada lingkungan sosial kita. (*)
Be First to Comment