Press "Enter" to skip to content

Pemerintah Terapkan Bea Keluar Batu Bara 2026, Target Rp20 Triliun

PROKALTIM – Pemerintah Indonesia resmi menerapkan bea keluar batu bara 2026, menegaskan kontrol fiskal atas ekspor energi primer. Dengan target penerimaan negara hingga Rp20 triliun per tahun, kebijakan ini memicu reaksi keras industri tambang, sementara pemerintah menegaskan langkah ini untuk hilirisasi dan optimalisasi sumber daya nasional.

Melansir dari laman protimes.co (jaringan media prokaltim), Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terang‑terangan menyatakan bahwa pembebasan bea keluar telah menjadi semacam “subsidi bagi pengusaha kaya”, satu bentuk ketimpangan fiskal yang membuat kas negara bocor di tengah kebutuhan anggaran yang membengkak.

Tarif yang dibidik? Antara 1–5% dari nilai ekspor batu bara. Ini bukan angka main‑main: menurut simulasi kebijakan oleh NEXT Indonesia Center, penerimaan negara bisa mengalir hingga sekitar Rp19 triliun dalam setahun jika bea keluar diberlakukan.

Anehnya, potensi itu baru dihitung dari batu bara dan briket saja tanpa menghitung lignit—batu bara kualitas rendah yang volume ekspornya lumayan besar.

Namun di balik angka manis itu, industri batu bara mulai menjerit. Asosiasi tambang mengingatkan bahwa bea keluar bisa memperburuk daya saing produk Indonesia di pasar global, terutama di tengah harga batu bara dunia yang belum stabil.

Data terbaru menunjukkan Indonesia telah mengekspor ratusan juta ton batu bara, dengan 238 juta ton diekspor hanya pada semester pertama 2025, sebuah volume yang membuat negeri ini menjadi salah satu eksportir besar di dunia.

Reaksi dari sektor energi juga terpecah. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyambut rencana itu sebagai langkah untuk memaksimalkan nilai sumber daya alam demi kesejahteraan rakyat. Namun kritik keras tetap bermunculan, menuduh pemerintah “mengguncang industri di saat pasar global belum pulih”.

Apa yang sedang terjadi memang lebih dari sekadar pajak baru. Ini adalah konfrontasi struktural antara pemerintah yang haus pendapatan dan sektor batu bara yang merasa dipinggirkan secara tiba‑tiba. Dengan target bea keluar yang dipatok bisa menyumbang sekitar Rp20 triliun lebih pada penerimaan negara, pertarungan fiskal ini diprediksi menjadi salah satu kebijakan paling kontroversial di akhir 2025.

Dampak langsung?

1. Kas negara berpotensi terisi jutaan triliun rupiah lebih.

2. Industri ekspor tertekan di tengah tren harga batu bara global yang fluktuatif.

3. Pasar internasional menunggu respons pedagang besar terhadap kebijakan ini.Siapa yang benar?

Pemerintah yang ingin “fair share”, atau kontraktor batu bara yang mendesak kepastian investasi tanpa tambahan beban? Pertanyaan itu akan menentukan nasib komoditas andalan negeri ini di pasar global — bukan hanya di buku anggaran negara, tapi dalam persaingan ekonomi dunia. (Chow)

    Be First to Comment

      Tinggalkan Balasan

      Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *