Pembungkaman, Satire dan Tumpulnya Media Banyak “Kavelingan”

Mata merekam, telinga mendengar, jari menulis, goresan tinta bermetamorfosis menjadi ketukan layar datar digenggaman tangan dan/atau ketikan pada papan tombol laptop yang akhirnya menjadi karya berita, itulah dunia pewarta yang kadang-kadang disentil penguasa.
PANDHU “SAMUDRA”, Samarinda
Selasa 7 Juni 2022, handphone saya bergetar, notifikasi di Grup WhatsApp itu menarik perhatian, pertama Pukul 08.06 WITA tentang Koalisi Pendukung Kebebasan Pers Kalimantan Timur (AJI Samarinda, LBH Samarinda, Pokja 30, Forum Jurnalis Bontang, AJI Balikpapan) mengecam pembungkaman jurnalis di Samarinda.
Yang kedua lebih menarik, ditulis oleh penggawa Selasar Achmad Ridwan, tulisan satire “Surat Terbuka untuk Pak Wali” bergambarkan Wali Kota Bikini Bottom, Mr Mayor yang tersenyum girang, satu frame dengan wartawan Perch Perkins yang mengerinyitkan dahi, mengecilkan mata kanannya sambil membaca teks di buku kecilnya.
Walaupun ada tulisan “Disclaimer” kalau semua yang ditulis dari nama, jabatan, tokoh dan tempat adalah hasil imajinasi belaka, kita tahu itu diperuntukkan kepada siapa, istilah “Si yang paling wartawan” hingga “antek-antek” seperti rahasia umum dalam dunia pewarta Samarinda yang bergelut di lapangan, mungkin benar mungkin tidak, sekali lagi penulisnya (Achmad Ridwan) berhasil menulis dengan elegannya, dengan satire-nya.
Tak lama, rilis dari Persatuan Wartawan Indonesia pun saya baca, isinya tentang hentikan “Serangan” ke wartawan, berita yang beruntun dengan benang merah yang sama, apakah ini indikasi dunia jurnalistik Samarinda sedang tidak baik-baik saja?
Sampai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Kaltim, Endro S. Efendi didampingi Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan Abdurrahman Amin mengatakan akhir-akhir ini terjadi upaya intimidasi, pembungkaman secara terstruktur, hingga bentuk kriminalisasi yang dialami para pekerja pers secara personal, maupun perusahaan media secara kelembagaan.
“Upaya-upaya itu mencederai semangat kemerdekaan pers,” katanya.
Saya ingat kalimat beberapa tahun lalu sebelum pandemi, “Koran jaman saya dulu ada halaman ‘Surga’ dan halaman ‘Nerakanya’,” ucap senior saya yang tak saya sebut namanya.
Halaman Surga adalah halaman kontrak, halaman yang diisi oleh staf humas, beritanya pun semua tentang citra baik, tentu untuk ini berbayar dengan angka yang telah disepakati sebelumnya.
Walau ada halaman Surganya, wartawan haram dibungkam, tak meninggalkan halaman Neraka, yakni halaman yang menulis tentang kesalahan dan kritik bagi instansi tertentu, bahkan yang memiliki kavelingan halaman kontrak di koran tersebut, jika perlu disikat ya disapu habis saja.
Artinya, tak ada persoalan tentang kritik, ini ruang kontrol sosial, ruang kontrol penguasa, pertanyaannya apakah sekarang media masih seperti yang senior saya katakan? lagi-lagi bisa iya bisa tidak, apakah istilah “Antek-antek” merujuk ke tumpulnya beberapa media yang ada banyak “Kavelingan” kontrak penguasa disana? Mudahan itu hanya perasaan saya.
Yang pasti kita sepakat, tak ada (lagi) pembungkaman, take down berita, “Pembunuhan” karakter pribadi maupun perusahaan pers, apapun yang dilihat, didengar, dirasakan lalu ditulis, selama itu kebenaran, lanjutkan! (*)